Kejadian ini terjadi beberapa tahun yang lalu ketika aku berkunjung ke salah satu rumah sakit (RS) di bilangan Jakarta Timur. Aku langsung saja ke Poli dan Ruang Rawat Paru, karena kedatanganku adalah untuk mengumpulkan data-data terkait Tuberkulosis (TB) di RS tersebut. Saat itu sedang jadwalnya minum obat dan penyuntikan untuk pasien TB yang datang rutin tiap hari. Tiba-tiba terdengar teriakan wanita yang ternyata salah seorang perawat. Wajahnya pucat pasi sambil menekan jari telunjuknya yang mengeluarkan darah. Ia pun segera berlari ke kotak P3K terdekat untuk mengambil obat antiseptik dan kapas. Aku menyuruhnya untuk terlebih dulu membersihkan lukanya dengan air bersih dan sabun baru diobati.
Saat ditanya, iapun menjawab dengan sedih bahwa jarinya tertusuk jarum bekas menyuntik pasien TB. Aku tahu kenapa dia panik, karena kita tidak tahu apa status HIV dan Hepatitis pasien tersebut. Kedua penyakit tersebut dapat menular lewat jarum suntik. Dan bukan sebuah kebetulan kalau TB adalah infeksi oportunistik terbesar bagi orang dengan HIV/ AIDS, mencapai sekitar 50%. Setelah menenangkan dirinya, aku ajak dia untuk menemui tim HIV/AIDS di rumah sakit tersebut. Ini adalah langkah terbaik dibanding berlama-lama panik.
Salah seorang petugas dengan sigap menerima kita dan mendengarkan kronologis kejadiannya. Menurutnya, apa yang sudah kami lakukan sudah tepat. Yaitu, untuk tidak panik, membersihkan luka dengan sabun dan air bersih, lalu mengobatinya dengan cairan antiseptik atau alkohol selama beberapa menit. Walaupun memang, panik itu hal yang wajar, apalagi kalau kita masih muda, memiliki pengetahuan yang terbatas tentang HIV/AIDS dan ketakutan akan penularannya. Petugas tersebut menenangkan dengan fakta bahwa kemungkinan terjadinya penularan akibat tertusuk jarum suntik cukup rendah, sekitar 0,3%. Apalagi, yang kemarin disuntik si perawat adalah otot bukan pembuluh darah. Syukurlah!
Menurut petugas itu resiko lebih tinggi bila tusukan jarum lebih dalam, darah terlihat pada jarum dan alat suntik, penyuntikan pada pembuluh darah dan si pasien memiliki viral load HIV tinggi. Wanita tersebut dapat sedikit bernafas lega karena dikatakan tidak perlu diberikan obat profilaksis, hanya disarankan untuk konseling dan melakukan tes HIV/ AIDS untuk mengetahui status awal. Lalu berikutnya akan ada 3 tes lagi, yaitu saat periode jendela 4 minggu kemudian, 12 minggu dan 24 minggu. Yang lebih membuat nyaman, semuanya akan berlangsung secara rahasia.
Yang membahagiakan, kabar darinya beberapa bulan kemudian menyebutkan bahwa total semua hasil tesnya adalah negatif. Sejak saat itu si perawat dan juga saya tentunya lebih berhati-hati dalam menangani pasien. Bukan dengan bentuk diskriminasi atau pelayanan dengan setengah hati, melainkan meningkatkan kewaspadaan universal pada setiap tindakan medis baik untuk personal, sesama rekan kerja dan juga kepada pasien. Karena saya memiliki keyakinan, apapun penyakitnya termasuk HIV/ AIDS akan dapat dihindari, ditangani, diobati dan dihadapi selama kita yakin akan kemampuan tubuh kita dan memiliki pengetahuan yang cukup tentangnya. Tenaga medis dan obat-obatan hanyalah faktor pendukung menuju kesembuhan dan kesehatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar